|

Interpelasi Remisi Koruptor

























Semangat bela koruptor kembali dipertontonkan oleh politisi DPR. Kali ini, para politisi senayan tersebut berusaha untuk membatalkan kebijakan pemerintah yang akan memperketat pemberian remisi terhadap koruptor. Beberapa anggota Komisi III DPR kemudian menggalang usulan interpelasi terhadap kebijakan tersebut. Tercatat, ini merupakan interpelasi yang pertama dalam masa pemerintahan SBY-Boediono.

Sebelumnya pada masa SBY-JK, interpelasi pernah digunakan oleh DPR terkait kebijakan luar negeri Indonesia yang mendukung resolusi sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal nuklir Iran. Dan interpelasi berkaitan dengan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pelaksanaan hak interpelasi tersebut selalu berjalan tidak mulus dan berujung pada polemik publik.

Terkait interpelasi remisi koruptor, hingga saat ini setidaknya anggota DPR yang berasal dari 7 (tujuh) fraksi telah membubuhkan tanda tangan dukungan. Tanda tangan ini berasal dari anggota fraksi PDIP, Golkar, PAN, Gerindra, PPP, PKS dan Hanura. Fraksi-fraksi tersebut sepakat menggunakan hak interpelasi terhadap kebijakan Kementerian Hukum dan HAM tersebut.

Penyalahgunaan Konstitusi

Secara konstitusional, interpelasi merupakan salah satu hak DPR, selain hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat. Diatur lebih lanjut dalam Pasal 27 huruf a UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, bahwa interpelasi merupakan hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Terlihat bahwa prasyarat utama penggunaan hak interpelasi adalah bahwa kebijakan Pemerintah yang menjadi sasaran penggunaan hak interpelasi, penting dan strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terkait dengan interpelasi remisi, pertanyaannya adalah apakah prasyarat utama itu sudah terpenuhi?

Memang kebijakan pengetatan remisi koruptor adalah kebijakan yang penting dan strategis, namun dalam artian positif. Dampaknya bagi masyarakat dan negara pun positif. Akan tetapi, bagi koruptor dan kekuatan-kekuatan pendukungnya, kebijakan tersebut merupakan sebuah ancaman. Karena mereka tidak bisa lagi dengan leluasa menikmati pemotongan masa hukuman dan segera bebas. Artinya mereka harus lebih lama berada dalam penjara.

Sehingga, usulan interpelasi remisi memberikan kesan kuat adanya suatu kepentingan dibaliknya. Politisi DPR merasa pengetatan remisi telah mengancam posisinya dan kolega politik mereka, Itulah yang mereka takutkan. Apalagi, hak Interpelasi ini muncul karena pelaku dan narapidana korupsi saat ini didominasi oleh politisi parpol.

Memang betul bahwa interpelasi adalah hak konstitusional DPR, namun jika hak tersebut digunakan secara serampangan, maka itu bisa mengarah ke penyalahgunaan konstitusi. Lebih parah lagi jika hak konstitusional tersebut digunakan untuk memperjuangan kepentingan para koruptor.

Selain berpotensi melakukan penyalahgunaan konstitusi, anggota DPR yang mengusulkan hak interpelasi remisi koruptor terlihat jelas melakukan politik dua kaki. Sikap politik mereka ambivalen. Tidak konsisten. Tercatat, ketika remisi terhadap koruptor diberikan pada masa Menteri Hukum dan HAM sebelumnya, para politisi DPR ramai-ramai melakukan protes kepada pemerintah. Sekarang ketika Menteri Hukum dan HAM memperketat pemberian remisi terhadap koruptor, politisi DPR juga protes. Jelas, sikap politisi DPR ini sangat membingungkan. Itu menunjukkan sikap politik yang ambivalen dan hanya sekedar berdasarkan kepentingan jangka pendek masing-masing partai politik.

Fakta ini memberi penjelasan kepada rakyat bahwa politisi DPR tidak memiliki kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh untuk memerangi korupsi. Karena sikap politik DPR yang ambivalen tersebut, aparat hukum kita pun menjadi sangat kompromistis terhadap koruptor. Sudah mendapat hukum ringan, para koruptor pun diberi hak mendapatkan diskon hukuman bernama remisi. Wajar jika rakyat terus mempertanyakan dimana komitmen antikorupsi politisi DPR.

Mestinya DPR mendukung kebijakan pengetatan remisi bagi koruptor. Karena begitu besarnya dampak korupsi terhadap kehidupan bangsa ini sehingga terhadap koruptor harus diperlakukan hukuman maksimal. Di tengah sorotan publik atas kinerja DPR, maka ada baiknya lembaga legislatif ini menarik kembali usulan hak interpelasi tersebut.

Tolak Remisi Koruptor

Secara hukum, pemberian remisi memang dibenarkan. UU mengizinkan pemberian remisi bagi narapidana sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 UU ini menyebutkan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Namun, terkhusus bagi terpidana korupsi, berlaku ketentuan khusus. Teknisnya dapat diatur oleh pemerintah.

Walaupun dibenarkan, pertanyaannya adalah apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak! Tidak ada kewajiban bagi pemerintah memberikan remisi bagi koruptor. Malah sebaliknya, Koruptor harusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal biasa. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime), bahkan, United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Koruptor harusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Justru koruptor harusnya dimiskinkan. Dan kalau perlu diberi sanksi sosial.

Selama ini Pengadilan Tipikor, rata-rata hanya memberi hukuman 3 tahun 4 bulan kepada koruptor. Hukuman yang ringan tersebut masih bisa dipotong dengan remisi dan pembebasan bersyarat. Selama tahun 2010 saja, ada 341 terpidana korupsi yang mendapat remisi, 11 diantaranya bahkan langsung bisa menghirup udara bebas. Kemudian, sejak tahun 2007 hingga awal Desember 2011, sudah 1.767 koruptor yang mendapatkan pembebasan bersyarat.

Hukuman yang ringan ditambah dengan fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat telah memanjakan koruptor di negeri ini. Mereka tak pernah benar-benar merasa jera. Oleh karena itu, remisi untuk koruptor haruslah ditolak dan DPR harus membatalkan rencana interpelasi.



Share this Article on : Share

__________________________________________________________________________

0 komentar for "Interpelasi Remisi Koruptor"

Leave a reply