|

Payakumbuh Punya Siapa?


Hingar-bingar pemilihan umum kepala daerah Kota Payakumbuh telah lama terasa. Bahkan hanya tinggal menunggu waktu beberapa hari men­jelang tanggal dua belas bulan Juli tahun dua ribu dua belas Pa­ya­kumbuh akan memiliki pe­mim­pin baru.

Jauh sebelumnya begitu banyak calon yang m­enga­pung. Namun pada akhirnya tujuh pasangan calon wali kota dan wakil wali kota dite­tapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) men­jadi peserta pemilu kepala daerah.

Menarik menyimak pemilihan umum kepala daerah Payakumbuh kali ini. Selain akan menemukan Paya­kumbuh satu yang baru, para calon wako dan wawako pun dianggap me­miliki kekuatan yang seimbang. Ca­lonnya juga terbilang banyak sehingga pertarungan antarkandidat makin sengit.

Jelang hari H, pemungutan suara, semarak pemilihan umum kepala daerah sangat terasa. Beragam atribut kampanye serta berbagai langkah politik me­ngambil hati masyarakat Kota Payakumbuh menyebar ke ber­bagai penjuru kota.

Pemilihan umum kepala dae­­rah ini hanya tinggal me­nunggu waktu. Ba­nyak pihak memprediksi akan ber­langs­ung dua putaran karena sengitnya per­saingan antara pasangan calon wali kota dan wakil wali kota. Namun para calon wako dan wakil wali kota yakin bisa menang satu putaran.

Menjelang tanggal dua belas Juli mendatang tentu akan semakin mem­buat para calon wali kota dan wakil wali kota akan semakin gencar meyakinkan dan mengambil hati rakyat. Menurut analisa penulis masyarakat Kota Paya­kumbuh ma­yoritas adalah masa me­ngambang (belum menentukan pili­han). Baru sebagian kecil yang me­ru­pakan masa pasti (telah menentukan pilihan).

Semakin mendekati waktu pemi­lihan tentu akan semakin sengit. Hingga waktu pemilihan menjelang, tentu banyak catatan bagi para calon wali kota dan wakil wali kota untuk memperebutkan suara di dua ratus dua Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akan tetapi,yang patut dicatat adalah masyarakat Payakumbuh menaruh harapan yang besar untuk masa depan yang lebih baik.

Gabriel Almond meng­kla­si­fi­ka­si­kan budaya politik sebagai berikut  pertama:  budaya politik parokial(parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (mi­salnya tingkat pendidikan relatif ren­dah). Kedua: budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu ma­syarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. Ketiga: budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Ketika demokrasi diartikan dengan pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tentu peran besar rakyat yang diperlukan dalam menentukan arah nasib mereka sendiri. Praktik penyelenggaraan pemilu langsung yang terjadi di Indonesia pasca jatuhnya rezim orde baru terkadang dapat berakhir manis atau bisa sangat tragis.

Tujuh pasangan calon walikota dan wakil walikota yang maju merupakan putra-putri terbaik. Jika dipandang secara positif, ini adalah bentuk parti­sipasi yang besar ( tujuh pasang calon ) yang hendak memajukan Kota paya­kumbuh. Namun jika kita memandang dalam sisi negatifnya, payakumbuh telah terpecah dalam tujuh kubu saat ini. Memang dalam demokrasi tidak ada yang satu warna. Akan tetapi demokrasi Indonesia adalah demokrasi musyawarah untuk mufakat.

Meski praktik penyelenggaraan pilkada yang diatur dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur demikian. Namun masyarakat Kota Payakumbuh lah yang nantinya akan menentukan. Sebab yang dibutuhkan sebenarnya adalah demokrasi substantif, bukanlah de­mokrasi prosedural ( demokrasi “ba­ralek” ) yang sering kita lihat selama ini. Mengingat demokrasi langsung membutuhkan sikap kritis dan ideo­logis demi mencapai keinginan ber­sama, bukan individu atau keinginan kelompok.

Pilkada yang Bekualitas

Sebagai putra asli Payakumbuh, ten­tu penulis menyimpan sejuta harapa un­tuk kota biru. Begitu banyak potensi yang terdapat di Kota Payakumbuh. Mu­lai dari SDM, ekonomi, wisata, bu­daya dan masih banyak hal lain yang be­lum terkelola secara baik di Kota Ba­tiah. Padahal Payakumbuh bisa di­ka­takan kawasan strategis untuk berbagai sektor. Pilkada tanggal dua belas juli nanti adalah momentum bagi ma­sya­rakat kota Payakumbuh, baik yang menghuni Kota Payakumbuh maupun perantau untuk  menciptakan Paya­kumbuh ke depan yang jauh lebih baik.

Praktik penyelenggaraan pemilu nanti harus bekualitas. Berkualitas dari segi pelaksanaan yang mana sesuai dengan peraturan perundang-un­dangan. Serta berkualitas dari segi moral, etika, iman dan untuk kemudian hari. Sebab menurut hemat penulis, pemilu yang berkualitas bukan hanya ditentukan oleh suksesnya penye­lenggaraan pemilu hingga hari pemi­lihan. Namun juga dilihat bagaimana hasil yang diperoleh semenjak hari pemilihan sampai lima tahun setelah itu.

Jangan sampai terjadi konflik kibat pemilu yang menciptakan konflik horizontal dalam masyarakat. Tidak perlu berakhir di Mahkamah Konstitusi. Penyelanggaraan pilkada yang ber­dasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,jujur, dan adil tetap harus dipegang teguh oleh seluruh pihak yang terlibat. Atau jangan sampai nantinya masyrakat kota Payakumbuh kecewa karena telah membeli kucing dalam karung (salah pilih).

Masyarakat Payakumbuh jangan tergoda oleh atribut kampanye, janji manis para calon wali kota dan wakil walikota, susunan kata-kata yang indah dari visi-misi hingga amplop serangan fajar nantinya jika ada pasangan calon yang berbuat demikian. Sikap politik tidak harus ditentukan dengan tergesa-gesa. Namun juga tidak bisa dipikirkan terlalu lama.

Melihat pilkada yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Banyak catatan hitam yang terjadi selama penyelenggaraan pilkada hingga lima tahun setelah itu. Konflik yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab patut diwaspadai. Politik uang jangan sampai terjadi. Sebab yang pasti bagaimana pun pilkadanya yang “menang” adalah tim sukses. Apalagi lima tahun setelah itu, akibat menang yang dipaksakan me­nimbulkan “raja-raja kecil” di daerah-daerah.

Penulis sangat tidak menginginkan hal-hal yang sedikit digambarkan di atas terdapat di Kota Payakumbuh tercinta. Meski menurut aristoteles demokrasi adalah sistem pemerintahan yang buruk. Penulis yakin bahwa masyarakat Kota Payakumbuh adalah orang-orang yang cerdas dalam meng­gunakan hak pilihnya. Dan pasangan calon tidak menunjukan kamuflase politik, tetapi menunjukan originalitas pandangan, perbuatan, dan idealisme. 

Sedikit menambahkan pemikiran Jean Paul Sartre seorang tokoh eksis­tensialis Prancis yang menyatakan: manusia dalam memilih, walapun pilihan tersebut didasarkan atas per­tim­bangan pribadi, manusia men­dasarkan keputusannya yang me­nyangkut seluruh kemanusiaanSe­hingga, dalam memilih, manusia tidak sekadar bertanggung jawab kepada pribadi semata, melainkan pada se­luruh kemanusiaan. Satu suara be­rakibat untuk semua. (*)



Share this Article on : Share

__________________________________________________________________________

0 komentar for "Payakumbuh Punya Siapa?"

Leave a reply