Jiwa Yang Gegar
Suatu ketika adikku pernah bertanya : “apakah kakak tidak takut di negeri orang?”. aku hanya menjawab :”tergantung…” jawaban yang diplomatis dan tidak memberikan ungkapan sebenarnya ya atau tidak. Hanya satu yang membuatku berani untuk terus berjalan ingin mencari ilmu, itulah yang menjadi energi yang tak terkira yang senantiasa membuat raga ini mampu menembus batas ruang dan waktu.
Ada pertanyaan lagi, apakah di indonesia tidak ada tempat yang layak untuk mencari ilmu? saya pun kembali terbungkam, hati kecil pun berbicara ya.. ada tapi.. kan sulit buat dapat kerja. Tapi apa yang menyebabkan dirimu bertarung hidup di negeri orang? apakah hanya ingin sebuah ketenaran? korban opini publik untuk bahwa bertitelkan tamatan luar negeri? atau eksis dengan foto-foto kehidupan di luar sana yang serba teratur, high tech, dan wah!!! aku pun tak memungkirinya “ya” apalagi aku disini bukan juga karena duit bangsa ku… aku mencarinya dengan kemampuan otakku yang brilian sehingga dengan serta merta negara lain memberikanku hidup dan menghargai kehebatanku untuk hadir dan mempelajari budaya mereka.
Pertanyaan kembali datang : “akankah sesudah tamat nanti akan pulang kampung?” jawaban ku kembali bak perempuan dilamar… atau jawaban diplomatis ” tergatung” tak ada kepastian…kejujuran pun menyeruak ” Bagaimana mau pulang… secara aku disini bisa dibayar lebih mahal ntar klo pulang kampung buat makan aja nggak cukup, ah.. nggak worthed lah!” Apalagi aku dapat beasiswa disini melebihi dari gaji orang tuaku di kampung mendingan disini saja.
Pertanyaan yang lazim muncul ketika chatting “Eh, shalat gimana? trus klo cari makan yang halal ada nggak?” bak seorang diplomat ulung pun kembali merangkai kata “Ya bisa diatur lah itu… klo makan ada banyak toko makanan halal” tapi kenyataanya aku tunduk dengan jadwal kuliah yang hetic trus ketiadaan sarana untuk beribadah layaknya dikampung membuat hak setiap sel-sel tubuh dan organ yang ada yang ingin shalat terabaikan. Subuh kesiangan, zuhur lagi kuliah, ashar diperjalanan, maghrib lagi makan, isya ketiduran… lengkap sudah. Makan.. ya sekenyangnya laah.. bismillah.. udaah beres. Akhirnya aku teringat adik ku bertanya “apakah kakak tidak takut di negeri orang?”. Ketakutan itu ternyata bukan hanya sebuah ketakutan akan kesendirian tapi ketakutan itu bermakna dalam. Ketakutan itu berbuntut akan sebuah kehilangan… identitas, rasa cinta tanah air, dan iman. Semuanya itu tergadaikan demi sebuah cita-cita yang awalnya untuk mendapatkan setitik ilmu menjadi arogansi yang tiada tekira.
Sungguh, aku sudah berada dalam jiwa yang gegar.
by: Andi Syukri (mahasiswa Universitas Roma La Sapienza)
Share this Article on : Share
__________________________________________________________________________
Udaaaa,
Capek selah salasaian kuliahnyo.
Biar ndag takut dngan makna dalam tu.
Do'aku menyertaimu disana.