Gantungkan Pendidikan Tinggi Anak pada Tetesan Nira
Hidup jauh dari kata berkecukupan tidak membuat Afrizal, 48, patah arang. Dengan hanya mengandalkan profesi sebagai pembuat gula aren secara tradisional, pria tegar ini menggantungkan harapan, agar anak-anaknya bisa berpendidikan tinggi. Seperti apa perjuangannya?
SEBELUM matahari pagi meninggi, Afrizal sudah meninggalkan rumah, istri dan tiga anak-anaknya di Jorong Sikabu-Kabu, Nagari Sikabu-Kabu, Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota. Berbekal seperangkat alat kerja yang terdiri dari sebatang kayu pemikul untuk mengangkut tabung penampung nira, yang terbuat dari bambu berdiameter 10-12 centimeter dengan panjang sekitar 1 meter menjadi temannya pagi dan sore.
Hingga sang surya kembali terbenam, Afrizal harus naik turun pohon enau untuk menampung tetesan nira. Sedikitnya 12 hingga 14 tabung nira yang mampu ditampungnya setiap hari. Meski jarak yang ditempuh setiap hari sembari memikul nira yang telah berhasil terkumpul, namun tidak membuat Afrizal mengeluhkan. Keinginan menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan tinggi, melenyapkan kelelahan yang mendera.
Pekerjaan yang dilakoni Afrizal, sarat resiko. Bayangkan, memanjat pohon aren setinggi 20 meter, dia hanya menggunakan tangga tradisional berupa sebatang pohon bambu dengan ranting pada ruas bambu sebagai anak tanggannya.
Pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai jenjang SD itu, sudah sekitar 26 tahun dia menekuni usaha sebagai pembuat gula Aren. Ini dilakoninya, karena tidak ada pekerjaan lainnya yang mungkin dilakukan.
Beruntung, suami Yusteti, 45 itu masih diberikan kesehatan, sehingga mampu memproduksi gula dan menggantungkan pendidikan anaknya dari penjualannya. Lestasri, 20 anak sulungnya, kini sudah hampir menamatkan pendidikannya di Fakultas Syariah, IAIN Imam Bonjol Padang. Anak keduannya, Riri, 17, juga akan melanjutkan kependidikan tinggi dan Syafri Ramad, 15 akan melanjutkan ke jenjang SLTA.
”Bialah, ambo baraajo kareh tiok hari. Nan pontiang anak-anak kami lai bisa sakola tinggi, kok lai isuak nasibnyo ndak jak kami pulo,” ucap Sar, panggilan akrab Afrizal kepada Padang Ekspres, beberapa waktu lalu. Saat itu, dia baru saja menghidupkan api tungku untuk mengolah air nira menjadi gula. Bercerita tentang pendidikan anak-anaknya, lelaki paruh baya itu, tampak bersemangat. Rasa letihnya, meski peluh masih terlihat membasahi bajunya yang lusuh seketika jadi hilang.
”Kadang memang saya berfikir, jika anak-anak tidak serius dengan pendidikannya, betapa pedihnya perasaan kami orang tua,” ucap Sar khawatir jika usahanya nanti akan sia-sia jika anaknya tidak sungguh-sungguh menjalani pendidikan.
Terkdang, Sar juga pernah juga berpikir, betapa mahalnya pendidikan di negeri ini. Sebab dengan bekerja dari pagi hingga malam, ternyata kadang tidak cukup untuk membiayai pendidikan anak. ”Lasuah bana kalau lai bisa manc
Share this Article on : Share
__________________________________________________________________________