|

Masjid Adat Warisan Tuanku Nan Balimo


Masjid Raya Balai Gadang Mungo punya sejarah panjang. Dibangun tahun 1914 atas gagasan seorang ulama yang wafat karena menunaikan ibadah haji ke-7 di Mekkah, masjid ini pernah mengalami kebakaran hebat. Beruntung, kaum adat yang disebut sebagai Tuanku Nan Balimo, punya semangat baja untuk kembali membangunnya. Seperti apa sejarahnya?

TIDAK ada yang berbeda de­ngan Masjid Raya Balai Gadang Mungo. Ketika dikunjungi Padang Ekspres,Senin (30/7) siang, masjid ini masih berdiri kokoh di Jorong Balai Gadang Bawah, Nagari Mu­ngo, Kecamatan Luak, Kabupaten Li­mapuluh Kota, Provinsi Sumbar. ”Masjid ini masih menjadi masjid tertua di Nagari Mungo,” kata Awiskarni, ketua pengurus Masjid Raya Balai Gadang Mungo.

Menurut Awiskarni, Masjid Raya Balai Gadang Mungo diba­ngun tahun 1914. Masjid ini diba­ngun di atas tanah ulayat nagari atas gagasan dari Haji Badu Ghani, seorang ulama terkemuka di Nagari Mungo yang meninggal dunia di Mekkah ketika melaksanakan iba­dah haji untuk ketujuh kalinya.

Awal dibangun, Masjid Raya Balai Gadang  hanya memiliki lantai dan dinding dari bambu, sedangkan atapnya terbuat dari ijuk. Sehingga tidak heran, bila masjid ini gampang terbakar. Bahkan, saat terjadi mu­sim kemarau panjang di Nagari Mungo tahun 1918, masjid langsung ludes menjadi abu.

Peristiwa itu membuat Haji Badu Ghani bersama para pemuka masyarakat Mungo kaget bukan kepalang Mereka tidak menyangka, masjid yang didirikan dengan nama Masjid Gadang, telah hangus dila­hap api. Walau kaget, Haji Badu Ghani tidak patah arang.

Sekitar setahun setelah pe­ris­tiwa tersebut, Haji Badu Ghani me­ngajak dua kemenakannya, yakni Ha­ji Sultan dan Haji Syarbaini untuk kembali membangun masjid. Agar niat baik itu terlaksana, me­re­ka menggunakan jasa seorang tu­kang bernama Haji Nabi.

Pembangunan masjid untuk yang kedua kali ini juga bertepatan dengan pembangunan Balai Adat. Sehingga, tujuan pembangunan masjid tidak sekadar untuk tempat beribadah. Tapi juga memenuhi syarat menjadikan Mungo sebagai sebuah nagari.

Seperti diketahui, syarat men­di­ri­kan nagari di Minangkabau cukup banyak, selain harus punya balai adat, sebuah nagari harus memiliki masjid. Di samping itu, sebuah nagari harus basosok-bajaramibapandam-bapakuburan dan ba­ta­pian tampek mandi.

Singkat cerita, pembangunan masjid untuk yang kedua kalinya di Nagari Mungo pada tahun 1918, mendapat dukungan penuh dari para pemuka adat. Bahkan, pemuka adat yang disebut sebagai Tuanko Nan Balimo; Imam dari suku Payo­ba­dar, Bilal dari suku Piliang, Malin Ka­yo dari suku Bodi, Malin Marajo dari suku Kampai dan Engku Khatib dari suku Piliang, meminta ma­sya­rakat menggunakan batu sungai sebagai bahan pendirian masjid.

Permintaan Tuanku Nan Balimo itu dilaksanakan masyarakat Mu­ngo, dengan mengangkut batu dari Batang Sinamar yang berjarak ratusan meter dari lokasi pendirian masjid. Setelah batu diangkut, masyarakat bergotong-royong se­cara bergantian, selama hampir dua tahun. Karena saat itu, tidak ada masyarakat Mungo yang ahli me­nyu­sun batu tanpa semen, maka ter­paksa didatangkan tukang dari Pa­yobasuang, Payakumbuh, bernama Mali.

Berkat kegigihan masyarakat bergotong-royong selama dua tahun dan berkat bantuan tukang Mali dari Payobasuang, pembangunan masjid untuk yang kedua kalinya, selesai di Nagari Mungo pada tahun 1920. ”Karena masjid yang diba­ngun lebih besar dari Masjid Ga­da­ng yang terbakar,  maka masyarakat sepakat memberi nama baru, yakni Masjid Raya,” ujar Awiskarni.

Selain disebut sebagai Masjid Raya, masjid ini juga dinamakan sebagai masjid adat, karena atas dorongan para pemuka adat, yaitu Tuanku Nan Balimo. ”Istilahnya adalah, jika di masjid mereka dise­but Rajo Ibadah, maka di balai adat mereka di sebut Rajo Adat,” kata Awiskarni.

Menariknya, meski Masjid Raya Balai Gadang Mungo sudah diba­ngun secara permanen sejak tahun 1920, namun masjid ini baru me­miliki kepengurusan pada tahun 1962. Pengurus masjid pertama dipimpin oleh Saharudin. Se­dang­kan kepengurusan masjid sekarang, di­amanahkan kepada  Awiskarni, Sawir Ahmad dan Rifnaldi.

Sekarang, pengurus Masjid Ra­ya Balai Gadang Mungo, sedang membangun menara setinggi 33 meter, dengan sumber dana dari masyarakat dan bantuan peme­rintah kabupaten.

”Pembangunan menara se­ka­rang sudah 20 persen, tapi beberapa bulan ini terpaksa di­hentikan dulu karena kekurangan biaya,” de­mikian Awiskarni.



Share this Article on : Share

__________________________________________________________________________

0 komentar for "Masjid Adat Warisan Tuanku Nan Balimo"

Leave a reply